Minggu, 13 Oktober 2013

Belajar Menjadi Guru

          
Menjadi guru merupakan sebuah perbuatan yang sangat mulia, setidaknya itulah yang saya fikirkan saat saya pertama kali menjadi guru di tahun 2010 lalu. Menjadi seorang guru pada dasarnya merupakan sebuah pekerjaan yang sangat berat apalagi dengan tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab yang diemban. Guru selama ini diembankan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh seluruh negara indonesia yaitu mencerdaskan bangsa. Sebagai tulang punggung upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, guru diberikan rambu-rambu dalam mengajar. Batasan-batasan ini kemudian lebih dikenal dengan kurikulum. Kurikulum terkadang mengungkung guru untuk tidak berani melanggar batasan-batasan pengajaran dan bahasan yang terdapat didalamnya. Kurikulum bagi seorang guru di buat seolah-olah sebuah Kitab Suci dan Undang-Undang Dasar bagi pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung disekolah.
              Pada dasarnya pemberlakuan kurikulum dalam pembelajaran bagi guru memang dibutuhkan agar pembahasan guru tidak menyimpang dan melenceng, akan tetapi pemberlakuannya sebagai kitab bagi sebagian guru adalah sebuah kesalahan besar. Guru seharusnya mampu mengembangkan kurikulum dan memberikan warna pada kurikulum yang diberlakukan. Berpedoman pada kurikulum yang baru yaitu 2013 pada dasarnya guru memiliki lebih banyak tanggung jawab dan tugas selain mencerdaskan dalam artian cerdas otak, cerdas jasmani dan juga cerdas perilaku. Hal ini sebaiknya juga ditunjang pada kemampuan guru itu sendiri bagaimana seorang guru mampu mencerdaskan para siswa apabila guru tersebut belum mampu mencerdaskan dirinya. Hambatan terbesar bagi seorang guru yang sudah saya rasakan adalah rasa malas, inilah kuncinya guru tidak boleh malas.
               Kemalasan yang dimaksud bukan hanya malas mengajar tapi juga malas belajar. Seorang guru terkadang sudah mengajar puluhan tahun dan merasa mampu untuk mengajar tanpa harus belajar lagi. Akan tetapi sekarang masanya sudah berbeda dengan dahulu. Guru dituntut untuk lebih terbuka dalam menerima kritik dan saran dari siswanya sebagai bagian dari belajar guru. Sebagai contoh, maraknya tempat les yang ada sekarang membuat siswa mengetahui langkah-langkah dan cara-cara yang lebih mudah dalam mengerjakan soal dibandingkan dengan langkah yang diberikan gurunya. Akan tetapi tidak semua guru mau menerima langkah yang digunakan siswa walaupun sang guru tau bahwa langkah tersebut benar biarpun tidak sama dengan langkah yang diberikannya. Rasa ego dan gengsi seorang guru pada saat ini bukan lagi sebuah senjata yang ampuh dalam mendidik siswa, senjata ampuh sekarang adalah rasa cinta, menghargai dan menghormati antara guru dengan siswanya.
             Mengajar jangan lagi diartikan guru sebagai sebuah pekerjaan melainkan dilakukan sebagai sebuah kewajiban dan dijalankan dengan keikhlasan. Menjadi guru yang baik bukan dinilai dari seberapa jauh prestasi seorang guru tapi dilihat dari seberapa besar prestasi anak didiknya dalam mencapai kompetensi-kompetensi yang diharapkan, seberapa mampu para peserta didiknya memberikan sebuah perhatian pada masyarakatnya dan seberapa pedulinya para peserta didik terhadap lingkungannya. Karena siswa yang pandai bukan hanya dinilai dari kepandaian otak saja tapi juga dari perbuatan dan juga kepekaan sosialnya. Saya mungkin belum menjadi guru yang baik tapi saya tetap akan belajar untuk menjadi guru mari belajar menjadi guru dan mencerdaskan bangsa ini. Jika bukan kita guru-guru Indonesia siapa lagi yang mau di bebani tanggung jawab ini.